Counsil
of Europe Convention on Cyber Crime
Council of Europe
Convention on Cyber crime merupakan suatu organisasi international dengan
fungsi untuk melindungi manusia dari kejahatan dunia maya dengan aturan dan
sekaligus meningkatkan kerjasama internasional. 38 Negara, termasuk Amerika
Serikat tergabung dalam organisasi international ini. Tujuan dari organisasi
ini adalah memerangi cybercrime, meningkatkan investigasi kemampuan.
Council of Europe Convention on Cyber crime telah diselenggarakan pada tanggal
23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi ini telah menyepakati
bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European Treaty Series dengan
Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh
minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3
(tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang
cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui
undang-undang maupun kerjasama internasional.
Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan
dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan
globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut
pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini
dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut :
Pertama, bahwa
masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri
dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi
kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
Kedua, Konvensi saat
ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer
untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya
kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional
dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat
dipercaya dan cepat.
Ketiga, saat ini sudah
semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara
pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan
Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan
Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan
kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk
mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah
disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk
diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma
dan instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa
mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan
kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.
Contoh Kasus :
Tanggal 22 April 2002, polisi di 9 negara di Eropa
dan Amerika Serikat menangkap 25 orang sebagai tersangka pelaku tindak
pidana pornografi anak. Lima dari sembilan negara tersebut , yaitu:
Inggris, Swedia, Switzerland, Jerman dan Denmark, empat negara lain tidak disebutkan.
Hal ini berawal dari informasi kepolisian Swiss yang menemukan seorang
laki-laki dengan memakai kaos yang bertanda suatu perusahaan di Denmark,
tengah melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak perempuan.
Informasi ini diteruskan kepada kepolisian Denmark untuk dilakukan penyelidikan
lebih cermat. Penangkapan dilakukan oleh kepolisian Denmark terhadap
sepasang suami istridi Ringkoebing, 250 mil sebelah barat Denmark.
Polisi menemukan banyak foto anak perempuan , serta alamat dan
daftar nama mereka yang juga melakukan hal yang sama dengan
pasangan tersebut.Pasangan ini dituntut oleh hukum Denmark karena
telah melakukan tindak kekerasan terhadap anak, dan ancaman
pidana selama 8 tahun, apabila memang hal itu terbukti.
RUU
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Undang-undang Informasi
dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Secara umum, materi Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UUITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai
perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik
mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on
eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk
mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya
guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa
materi yang diatur, antara lain: 1. pengakuan informasi/dokumen elektronik
sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE); 2. tanda
tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE); 3. penyelenggaraan
sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU
ITE); dan 4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU
ITE);
Beberapa materi perbuatan yang dilarang
(cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
- konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE); 2. akses ilegal (Pasal 30); 3. intersepsi ilegal (Pasal 31); 4. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE); 5. gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE); 6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);
- Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis
tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin
Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono),
sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana disahkan oleh DPR.
Contoh Kasus :
Kasus yang dilakukan oleh Wildan Yani Anshari (22),
peretas (hacker) situs Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, www.presidensby.info dan melakukan peretasan terhadap
situs itu sendirian. Hacker, adalah mengacu pada seseorang yang
mempunyai minat besar untuk mempelajari sistem komputer secara detail dan
bagaimana meningkatkan kapabilitasnya untuk dimanfaatkan kemampuannya kepada
hal-hal yang negatif atau melakukan perusakan internet. pada kasus ini telah
melanggar Undang – Undang ITE BAB VII Pasal 30 Ayat 3 yaitu yang
mengakses komputer pihak lain tanpa ijin dan atau membuat sistem milik orang lain
seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau tidak dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
Saran :
Council of Europe Convention on Cybercrime (COECCC)
merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan
yang tepat dan untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam mewujudkan hal
ini.
Perlu dilaksanakan sosialisasi konsep dan penerapan
UU ITE secara menyeluruh, guna terciptanya masyarakat yang mengetahui segala
informasi dan perkembangan tentang undang-undang ini sehingga dapat diterapkan
secara maksimal dalam aplikasi teknologi.
Untuk studi lapangan mengenai Pengaruh Penerapan UU ITE terhadap Kegiatan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi selanjutnya, penulis menyarankan agar metode studi diperluas lagi dengan pengamatan penerapan UU ITE di sekolah-sekolah di kelas, sehingga hasil analisisnya lebih efektif lagi. Selain itu, sebaiknya angket tidak hanya ditujukan pada masyarakat awam tetapi juga pada mahasiswa program studi ilmu komputer dan teknologi informasi dengan pertanyaan- pertanyaan yang lebih representatif mengenai informasi dan penerapan undang-undang tersebut.
Untuk studi lapangan mengenai Pengaruh Penerapan UU ITE terhadap Kegiatan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi selanjutnya, penulis menyarankan agar metode studi diperluas lagi dengan pengamatan penerapan UU ITE di sekolah-sekolah di kelas, sehingga hasil analisisnya lebih efektif lagi. Selain itu, sebaiknya angket tidak hanya ditujukan pada masyarakat awam tetapi juga pada mahasiswa program studi ilmu komputer dan teknologi informasi dengan pertanyaan- pertanyaan yang lebih representatif mengenai informasi dan penerapan undang-undang tersebut.
Sumber :
- http://ul601.ilearning.me/2015/09/04/artikel-uu-informasi-dan-transaksi-elektronik-19/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar